Jakarta - Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) tegas menolak
melakukan eksekusi kebiri kimia kepada pelaku kejahatan seksual. Apabila
ada dokter yang menjadi eksekutor diancam akan diberikan sanksi
dikeluarkan dari profesi dokter.
"Memang tidak ada hukuman sanksi badan. Tapi diminta untuk keluar dari profesinya," kata Ketua MKEK dr Prijo Sidipratomo bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam jumpa pers di kantor IDI, Jl Sam Ratulangi, Jakpus, Kamis (9/6/2016).
Prijo mengingatkan, sumpah dokter adalah universal, dan diakui sebagai world medical etic oleh semua dokter. Jadi dalam sumpah itu dikatakan, dokter tidak akan menggunakan pengetahuannya untuk hal-hal lain yang bertentangan dengan kemanusiaan.
"Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan. Kalau melanggar, itu berarti melanggar sumpah itu. Dan lagi dalam sumpah dokter sekalipun dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial," jelas dia.
Jadi, lanjut Prijo, tidak ada hal lain yang dapat mempengaruhi sumpah dokter. Sekalipun dalam keadaan perang dokter itu harus menolong siapapun.
"Jangankan pasien, lawan di peperangan pun tugas dokter menyelamatkan sekali pun itu musuhnya. Jangan menganggap hal ini sepele, karena ini bertentangan dengan sumpah dokter. Meskipun dokter militer sekalipun yang harus menjalankan sesuai perintah atasan. Ini berkaitan dengan sumpah dan kode etik kedokteran," tegasnya.
"Jika melanggar sumpah atau kode etik atau mungkin jika nantinya bisa dikategori pelanggaran berat. Tentu karena sumpahnya maka jika melanggar dokter tersebut telah melanggar sumpah dan dikeluarkan dari profesinya sebagai seorang dokter serta dari organisasinya," tegas.
"Memang tidak ada hukuman sanksi badan. Tapi diminta untuk keluar dari profesinya," kata Ketua MKEK dr Prijo Sidipratomo bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam jumpa pers di kantor IDI, Jl Sam Ratulangi, Jakpus, Kamis (9/6/2016).
Prijo mengingatkan, sumpah dokter adalah universal, dan diakui sebagai world medical etic oleh semua dokter. Jadi dalam sumpah itu dikatakan, dokter tidak akan menggunakan pengetahuannya untuk hal-hal lain yang bertentangan dengan kemanusiaan.
"Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan. Kalau melanggar, itu berarti melanggar sumpah itu. Dan lagi dalam sumpah dokter sekalipun dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial," jelas dia.
Jadi, lanjut Prijo, tidak ada hal lain yang dapat mempengaruhi sumpah dokter. Sekalipun dalam keadaan perang dokter itu harus menolong siapapun.
"Jangankan pasien, lawan di peperangan pun tugas dokter menyelamatkan sekali pun itu musuhnya. Jangan menganggap hal ini sepele, karena ini bertentangan dengan sumpah dokter. Meskipun dokter militer sekalipun yang harus menjalankan sesuai perintah atasan. Ini berkaitan dengan sumpah dan kode etik kedokteran," tegasnya.
"Jika melanggar sumpah atau kode etik atau mungkin jika nantinya bisa dikategori pelanggaran berat. Tentu karena sumpahnya maka jika melanggar dokter tersebut telah melanggar sumpah dan dikeluarkan dari profesinya sebagai seorang dokter serta dari organisasinya," tegas.